Terdapat yang berbeda Jumat
malam (8/8) di Kradenan, Banyuraden, Gamping, Sleman. Puluhan orang
berduyun-duyun memadati studio tari Banjarnili milik Martinus Miroto.
Tapi, kali ini tidak seperti malam biasanya, di mana pertunjukan tari
lebih bersifat tertutup. Malam itu, ternyata menjadi malam sakral bagi
seorang Martinus Miroto. Karya yang ditampilkannya merupakan ujian
Program Doktor Penciptaan dan Pengkajian Seni Insititut Seni Indonesia
(ISI) Jogjakarta. ‘’Meski sifatnya tertutup, tapi teman-teman yang
hadir di sini telah menjadi bagian dari karya ini,” ujar Miroto singkat
saat membuka pertunjukan. Karya pria kelahiran Jogjakarta 23 Februari
1959 ini bisa terbilang karya fenomenal. Di mana karyanya mengusung
teknologi yang berkolaborasi dengan karya tari. Alhasil, karya ini
merupakan hal baru dalam dunia tari, bahkan dunia tari internasional.
Hal ini diungkapkan sendiri oleh Miroto, sehari sebelumnya saat gladi
bersih (7/8). Dikatakan, karya ini belum pernah dipertunjukan di belahan
bumi manapun. Menggabungkan dunia maya dan nyata dalam sebuah
pertunjukan seni tari modern. ‘’Lebih mengistilahkannya dengan nama
pertunjukan realitas teleholografis, di mana mengusung teknologi
hologram. Menghadirkan kolaborasi penari asal Taipei, New York dan Tokyo
dengan penari Jogjakarta secara real time,” katanya. Teleholografis
bisa terbilang sebuah ide mutakhir dalam dunia seni. Meski terpisah
jarak dan waktu yang sangat jauh, para penari ini tetap bisa
berkolaborasi. Bahkan gerakan yang dihasilkan tetap bisa sinkron. Kunci
utama dalam penggarapannya kali ini adalah teknologi yang diusung.
Miroto dan timnya mengandalkan koneksi internet sebagai media
penyambung. Kunci lainnya adalah bagaimana menghadirkan para penari
dalam teknlogi hologram ini. ‘’Untuk menghadirkan pemikiran ini
memerlukan waktu lima tahun. Mulai dari konsep hingga teknis
penggarapan. Apalagi teknologi hologram masih sangat jarang, atau bahkan
belum ada di Indonesia,” katanya.
Untuk membuat hologram, Miroto harus rajin-rajin membuka situs Youtube.
Dalam situs ini Miroto mencari tutorial pembuatan hologram. Sejak awal
pembuatan, Miroto ditemani sahabatnya, Bandi. Pria ini sendiri merupakan
tukang kayu dan batu yang kerap membantu Miroto. Miroto berkisah di
awal pembuatan dirinya sempat melakukan trial and error. Percobaan
awalnya pun tidak selamanya sukses. Meski begitu, kegagalan ini
menjadikan Miroto lebih terpacu dalam berkarya. Beberapa bahan baku
mulai dari plastik, mika hingga akrilik dijajalnya sebagai pemantul
hologram. “Sempat berhasil saat menggunakan akrilik, tapi ukurannya
sangat kecil dan gampang melengkung. Akhirnya ketemu bahan yang pas
yaitu kaca tempered. Kaca ini mampu menampilkan objek hologram dengan
pas dan bisa dipandang,” katanya. Perjuangan tidak berhenti sampai di
sini. Untuk mendatangkan kaca ini, ternyata memerlukan teknik khusus.
Bahkan untuk proses penurunan ke Studio Banjarmili memerlukan waktu 10
hari. Ini karena letak studio ini yang menjorok ke arah Sungai Bedog.
“Dipikirkan matang-matang bagaimana menurunkan kaca ini, karena kalau
salah bisa pecah,” kenang Miroto.
Karya Miroto kali ini melibatkan tujuh seniman asal Indonesia. Mereka
adalah Ari Inyong, Mugiyono, Mila Rosinta Totoatmojo, Endah Lras, Ari
Ersandi Mulyono dan Rangga. Ketujuh seniman ini berkolaborasi dengan
Yutsen Liu asal Taipei, Kyla Barkin asal New York dam Ikko Suzuki asal
Tokyo. Kehebatan telehologram diuji dalam kolaborasi kali ini. Para
seniman lintas negara sebelumnya belum pernah bertemu, terkecuali
Miroto. Tentunya ini menjadi kendala tersendiri untuk melakukan
pendekatan dan pengenalan bahasa ketubuhan. Hal ini diungkapkan oleh
salah seorang penari Mugiyono. Dalam fragmen tarian, pria asal Solo ini
berkolaborasi dengan Ikko asal Jepang. Baginya ini merupakan kesempatan
yang unik, menantang sekaligus membanggakan. “Belum pernah bertemu
sebelumnya, tapi langsung berkolaborasi. Teknologi tentunya sangat
membantu dalam karya Pak Miroto kali ini. Kita tidak dekat dengan penari
luar, tapi benar-benar terasa dekat saat berkolaborasi,” kesan
Mugiyono.
Miroto juga mengungkapkan para penari dari negeri seberang juga
merasakan hal yang sama. Seperti saat Ikko mengirimkan pesan kepada
Miroto rindu untuk berlatih bersama. Ikko yang berasal dari Jepang
mengaku merasa dekat dengan penari asal Indonesia. “Penari antusias
karena mengusik ketenangan dan kebiasaan dunia tari. Ruang baru
penyambung dunia nyata dan maya ini mendapat respons positif. Seperti
saat Ikko mengungkapkan rasa kangennya untuk berkolaborasi bersama
Mugiyono,” kata Miroto. Internet menjadi kunci penting dalam karya
Miroto kali ini. Meski begitu, internet pula yang menjadi pisau yang
tajam, di mana koneksi internet di Indonesia masih terbilang sangat
minim. Total Miroto hanya bisa memaksimalkan koneksi internet mencapai
10 Mbps. Kecepatan ini sudah sangat cukup untuk menghidupkan
teleholografis ini. Pernah suatu ketika para senian luar negeri
mengirimkan video kualitas high definition. Alhasil video teleconference
yang diterima oleh Miroto gagal.
“Luar negeri sangat mendukung high definition tapi kita belum. Sehingga
kecepetan internet semua diturunkan menyesuaikan kemampuan internet
kita,” kata Miroto. Lebih lanjut Miroto mengungkapkan karya ini
mengandung aspek multimedia, multibangsa, multibudaya dan menggunakan
medium utama tubuh realitas nyata dan realitas semu. Karya kali ini
menyoroti pesatnya perkembangan dunia maya. Semua orang dipertemukan
dengan mudah, meski terpisah jarak dan waktu. Sistem kemajuan komunikasi
ini, lanjut Miroto, dapat pula menjembatani dunia seni, sehingga
tercetuslah ide pertunjukan realitas teleholografis ini. “Sebagai
seorang seniman kita harus peka terhadap sebuah dinamika. Dulu mungkin
kita susah dan perlu waktu yang lama untuk berkolaborasi. Tapi sekarang,
teknologi sudah membantu kita,’’ katanya. (*/laz)